“Hati-hati membenci orang lain.
Bisa-bisa dibuat jatuh hati olehnya.”
— Teresa Rajata
2. Kesepakatan Terpaksa
BRAK!
Suara gebrakan meja itu membuat keduanya tersentak kaget.
“Jadi katakan kenapa kalian terlambat dan manjat tembok belakang
sekolah? Kalian tau itu melanggar peraturan sekolah!”
Keduanya yang diomeli oleh kepala sekolah wanita mereka hanya diam.
Baik Raskal dan Teresa sama-sama tidak mengeluarkan suara. Mereka seperti
dijebak. Di depan mereka ada tiga orang yang lebih tua dari mereka. Dua guru BK
dan kepala sekolah. Bu Is dan Pak Ahmad berdiri di samping kepala sekolah
mereka yang sedang duduk di kursi.
“Bu kita cuman terlambat. Lagian lebih baik terlambat ke sekolah
daripada bolos,” kata Raskal yang sedang duduk santai seperti ia duduk di
warpeng. Warung pengkol sekolah yang merupakan tempat tongkrongan bagi murid-murid
tipe seperti Raskal.
“Diem kamu! Saya belum nyuruh kalian ngomong!”
Raskal akhirnya diam. Ia melirik Teresa yang sedang sibuk meniup-niup
poni panjangnya ke atas. Kebiasaan yang sudah Raskal hafal. Oh bukan Raskal
saja tapi kebanyakan murid Nusantara suka melihatnya.
“Bisa gak kalian sehariiii aja gak bikin saya pusing?” tanya kepala
sekolahnya itu heran. “Kamu juga Teresa. Cewek tapi kelakuannya kaya cowok,”
tudingnya pada Teresa.
“Bu sekarang saya ada ulangan Kimia. Kalau nilai saya tu—”
“Nyusul!”
Teresa yang dibentak mengalihkan pandang. Ia lebih memilih menatap
kalender yang ada di sampingnya. Coba saja Bu Is tidak melihat mereka, mereka
pasti tidak akan ada di sini dan ia juga tidak akan terjebak dengan Raskal.
“Atau kalian mau di DO?”
Teresa dan Raskal refleks langsung menatap kepala sekolahnya dengan
pandangan kaget.
“Bu apa pun asal jangan DO. Saya janji bakalan berubah,” kata Teresa.
“Kamu itu. Janji-janji aja. Sampe sekarang gak berubah-berubah.
Kelakuan kamu tetep sama.”
“Bu. Ibu boleh ngehukum kita apa aja tapi jangan DO Bu. Kita udah kelas
12,” ujar Raskal.
“Tapi sifat kalian bukan sifat anak kelas 12. Seharusnya kalau kalian
merasa sudah kelas 12, kalian bisa mikir. Mana yang baik dan mana yang gak
baik.”
Raskal menatap Bu Is yang berdiri di sebelah Pak Ahmad. Guru BK itu
menghela napasnya.
“Bu tolong dipertimbangin. DO gak menyelesaikan masalah,” kata Bu
Is. “Lagian kita bisa hukum mereka.”
“Bener Bu. Mereka sebentar lagi akan ujian. DO bukan solusi yang
bijak,” kata Pak Ahmad.
“Kalau dihukum saja mereka nggak bakalan jera,” kata kepala sekolahnya.
“Lagian mereka sudah banyak melanggar peraturan sekolah. Sudah banyak catatan
tentang kenakalan mereka berdua.”
Peraturan dibuat memang untuk dilanggar. Bagi Raskal memang seperti itu. Lagian bukan
hanya mereka berdua saja yang sering melanggar. Banyak murid yang sering
melanggar. Banyak murid yang sering terlambat datang ke sekolah. Hanya saja
mungkin mereka beruntung lolos dari guru BK.
Kepala sekolah mereka mengetuk meja dengan jari telunjuknya,
menimbulkan suara ketukan yang mengisi ruangan hening itu. Raskal dan Teresa
tau wanita itu sedang merencanakan sesuatu.
“Nilai kamu sering jeblok kan Raskal?” tanya guru itu membuat Teresa mengerutkan
kening sementara Raskal mengangguk pelan. “Pelajaran apa yang gak kamu suka?”
“Fisika Bu,” jawabnya jujur.
“Kalau gitu kalian pilih. DO atau belajar kelompok bersama,” katanya
membuat Teresa dan Raskal sama-sama mengerutkan alis mereka.
“IBU!” seru keduanya.
“Tinggal pilih,” ucapnya. “DO atau kerja kelompok. Selama tiga bulan
kalian harus belajar kelompok bersama. Terserah tempatnya di mana. Terserah
berapa kali dalam seminggu. Dan minggu ini Ibu harus dengar nilai kalian
membaik di mata pelajaran Fisika.”
“Bu, jangan kerja kelompok. Saya gak mungkin kerja kelompok sama dia,”
kata Teresa melirik Raskal.
“Saya juga gak mau Bu. Mending saya les privat,” ujar Raskal.
“Ya udah les privat aja lo sana. Gue juga gak mau capek-capek kali.”
“Sekarang kalian pilih. DO atau belajar berdua. Kalau kalian pilih DO.
Hari ini juga kalian akan dipulangkan ke rumah masing-masing.”
Keduanya mendengus.
3 bulan? Yang benar saja! Bisa-bisa kepala Teresa pecah.
“Saya gak mau di DO Bu,” kata Raskal tegas. Cowok itu sudah duduk tegak
dengan benar. “Saya pilih kerja kelompok 3 bulan.”
***
“LO TUH!!”
“Aduh-aduh!”
Raskal menjauhkan dirinya ketika Teresa memukul-mukul lengannya. Mereka
baru saja keluar dari ruang kepala sekolah.
“Lo tuh kenapa sih?”
“Gue gak mau kerja kelompok sama lo!”
“Terus lo pikir gue mau?”
“Tapi kan—”
“Emang lo mau di DO?”
Teresa diam namun raut wajahnya tertekuk. Benar-benar kesal sekaligus
tak bisa berbuat apa.
“Lagian gue gak mau kena masalah lagi sama orangtua gue.”
“Trus seminggu ini nilai Fisika kita harus bagus? Yang bener aja!”
Teresa melipat tangannya di dada. Matanya memandang ke arah depan sementara
Raskal menatap perempuan di sampingnya dengan pandangan datar. “Mana hari Rabu
gue ulangan Fisika.”
“Lo pikir lo aja yang ulangan? Hari Sabtu juga gue ulangan Fisika,”
kata Raskal. “Gak ada cara lain. Cuman itu satu-satunya.”
“Kenapa lo gak les privat kaya yang tadi lo bilang di dalem?”
“Gue lagi dihukum. Semua fasilitas kecuali motor gue disita,” kata
Raskal. “Kenapa gak lo aja?”
Teresa mengusap wajahnya. “ATM gue diblokir,” ujarnya.
Keduanya saling pandang. Teresa mengerang kesal.
“Terus gimana?”
“Gak ada cara lain.”
“Kerja kelompok gitu? Lo sama gue?” ucap Teresa sambil menunjuk dirinya
membuat Raskal mengangguk.
“Besok. Gimana?”
“Besok?!”
“Sialan jangan kenceng-kenceng,” protes Raskal.
“Lo yakin besok?”
“Menurut lo?”
Teresa memutar kedua matanya. “Oke besok. Di mana?”
“Tempatnya lo yang atur.”
“Oke gampang,” kata Teresa namun masih wajah kesalnya terlihat. “Kalau
gak gara-gara diancem DO. Gue gak bakalan mau!”
“Ya terserah. Inget besok dan lo jangan kabur.”
“Hm.”
Teresa meninggalkan Raskal, melewati sebuah lorong lalu melihat sebuah
kaca panjang yang bertuliskan ‘Sudah rapikah saya?’ di atas kaca itu. Sejenak
Teresa diam. Pandangannya tertuju pada pantulan dirinya.
Gue gak rapi dan gak akan pernah rapi.
***
“Eh muka lo kenapa kusut gitu Kal?” tanya Douglas ketika Raskal
berjalan menuju ke arah pertigaan koridor kelas X dan XI.
Ada 3 alasan mengapa teman-temannya berdiam di sini. YANG PERTAMA,
mereka di sini mau MALAK uang jajan adik kelas dengan embel-embel senior. YANG
KEDUA, mau CAPER ke adik kelas. YANG KETIGA, males ke kantin karena sedang
ramai.
Lagi pula, siapa yang tidak takut dengan badan besar Douglas? Baru saja
mereka, alias adik kelas yang keluar dari kelas itu hendak menuju ke kantin,
mereka langsung mengambil jalur pintas agar tidak melewati Douglas, Verrel, dan
Gathenk. Sebagian dari mereka pun memilih masuk kembali ke dalam kelas.
Benar-benar payah, pikir Raskal.
“Lo kaya habis kena kurang point
dari Pak Ahmad,” kata Gathenk. “50 apa 100 Kal?” tanyanya.
“Berisik lo Babi,” kata Raskal spontan.
“Buset galak. Gue bukan Babi,” gerutu Gathenk.
“Jawab lagi lo!” seru Raskal tambah galak.
“Berantem-berantem aja lo berdua,” Verrel melerai Raskal dan Gathenk.
Gathenk lantas memasang wajah tak berdosanya.
“Najis muka lo gak usah sok
imut Thenk,” kata Douglas.
“Adek salah apa Bang Raskal?” kata Gathenk bersembunyi di belakang
badan Douglas. Dengan alaynya dia mengerjapkan mata secara lambat-lambat pada
Raskal yang suasana hatinya sedang panas. “Aku tuh gak bisa diginiiiiinnnnnn,”
katanya lagi dengan nada di lebay-lebay-kan yang justru terdengar sangat
aneh untuk seorang cowok.
“Lo kaya meme-meme di Instagram,” ujar Verrel jijik. “Lo cowok. Jangan
melambai gitu ah.”
“Gue cuman pengin merubah suasana. Kayanya tuh cowok taksiran gue lagi
panas hati.”
“Jadi lo naksir Raskal?” kata Douglas menoleh ke belakang, raut
wajahnya tampak jelas benar-benar jijik.
“Kalau gue cewek sih iya,” jawab Gathenk. “Mungkin kalau gue lahir
kembali ke kehidupan nanti jadi cewek, gue bakalan naksir Raskal. Cowok aja
panes dingin ngeliat Raskal.”
“Sabar Douglas, untung Gathenk temen lo,” kata Douglas pada dirinya
sendiri. Gathenk yang mendengar itu meringis pelan.
“Gue bercanda kali. Tapi serius. Yang, ‘cowok juga panes dingin kali
ngeliat Raskal’ nah itu bener.”
“Wei-wei ada yang mau lewat. Waspada-waspada. Gue udah laper,” kata
Douglas.
“Lo sih makan aja Glas. Apa-apa makan. Apa-apa makan,” cibir Verrel.
“Pantes lo gak kurus-kurus.”
“Ya iyalah. Makan itu nggak ada duanya. Makan itu juga ibadah tau.
Lagian lo mau mati gara-gara gak makan?”
“Sejak kapan makan itu ibadah?” bisik Gathenk pada Verrel membuat cowok
itu mengendikkan bahunya, tak peduli.
“Eh gue denger.” Toleh
Douglas ketika ia mulai menghadang koridor sendirian. Raskal terlihat berdiri
di sebelah Verrel dengan menatap lurus pada Douglas yang sebentar lagi akan
menangkap mangsanya.
“Gak ikutan lo Thenk? Lumayan buat beli kartu WIFI.ID,” kata Verrel
menggoda Gathenk.
Mendengar itu Gathenk langsung semangat. “Ikut-ikut gue. Kalau itu sih
gak nolak!” ujarnya semangat.
Padahal kalau Gathenk mau, Gathenk bisa ke rumah Raskal karena di rumah
Raskal ada fasilitas WIFI yang selalu cowok itu gunakan untuk bermain sosial
media atau game online. Contohnya DOTA seperti permainan kesukaan
Gathenk atau Get Rich seperti permainan yang Verrel suka. Selama
dihukum, Raskal hanya bisa menghilangkan jenuhnya dengan PS kesayangannya.
“Eh bagi duit dong. Lima ribu,” kata Gathenk pada seorang cowok yang
baru saja akan melewati mereka. “Cepetan bagi. Buset dah lo lama bener
koneknya,” paksanya. Cowok itu akhirnya memberi Gathenk uang lima ribu.
“Nah gini dong. Jadi kan lo boleh lewat,” katanya menepuk-nepuk
punggung cowok itu selama tiga kali, sok akrab. Cowok itu akhirnya berlalu dari
mereka setelah memberi uang.
“Cari mati tuh orang,” kata Raskal ketika melihat Teguh berjalan
mendekati mereka. Teguh merupakan satu spesies dengan Erwin cuman bedanya cowok
itu beda kelas dengan Raskal sehingga kesempatan untuk ‘memperbudak’ cowok itu
hanya sedikit.
“Eh Teguh sini lo!” kata Douglas dengan suara yang sengaja diseram-seramkan.
Teguh yang baru sadar di depannya ada Douglas, langsung berputar balik dan
ingin lari darinya namun Douglas sudah menarik cowok itu dan membawanya
mendekat.
“Main kabur-kabur aja. Mau ke kantin kan lo?” tanyanya. “Woi gue
ngomong sama lo! Jangan dikacangin! Tuli lo?”
Teguh meneguk ludahnya, “Iya gue mau ke kantin,” cicit Teguh.
“Nah berhubung lo mau ke kantin. Beliin gue makanan gih sono. Apa aja
terserah yang penting gue makan. Bakso juga boleh. Dibungkus tanpa kuah.”
“Tapi gue cuman bekel 10 ribu.”
“Ya itu masalah elo. Pokoknya gue gak mau tau. Lo harus beliin gue itu.
Lima menit lo gak balik-balik, gue robohin itu warung Nyak lo.”
“E-eh jangan,” kata Teguh panik lalu menghela napas. Alamat ia tidak
makan hari ini. Douglas itu kalau ngacem emang suka gak main-main. “Iya-iya gue
beliin,” katanya lagi.
“Ya udah sana lo,” kata Douglas mendorong badan Teguh. “Sana!” bentak
Douglas membuat Teguh merasa mengecil seperti kurcaci lalu ia mengangguk dan
cepat-cepat menuju ke kantin.
“Nama doang Teguh, digertak segitu aja takut!” ucap Douglas.
Gathenk tertawa, “Lo tuh Glas. Emangnya Nyak dia punya warung?”
“Punya. Deket rumah dia. Itu tuh yang ada di kiri jalan. Namanya warung
Bu Ani.”
“Untung gak warung Bu Sabar,” kekeh Verrel.
“Waktu gue jemput adik gue yang lagi main layangan di lapangan, gue
liat dia bantuin Nyaknya di warung. Lagi nyuci piring,” kata Douglas dengan
kedua tangan di pinggang.
“Lo bertiga gak kantin?”
“Gue sih gimana si Raskal. Gue gak laper-laper banget,” kata Gathenk
melirik Raskal yang ternyata tengah melamun.
“EH TERESA!” teriak Douglas membuat Raskal menoleh dengan secepat
kilat. Namun detik berikutnya wajah laki-laki itu kembali datar karena sadar
telah dibohongi oleh temannya.
Douglas, Gathenk dan Verrel lantas tertawa bersama. “Ketauan ni yeee
lagi mikirin Teresa,” Douglas memberi senyum paling menyebalkan yang pernah
Raskal lihat. “Tuh adik kelas gue emang paling montok banget dari dulu,”
katanya lagi dengan suara tok berlebihan di kata montok.
“Eh inget lo masih kelas XII,” kata Ghatenk.
“Yang penting gue pernah jadi senior lo-lo pada.”
Gathenk melipat tangannya di dada. “Kalau diinget-inget geli banget gue
dulu manggil Douglas pake Kakak. Kak Douglas. Kak Douglas.”
“Lo kan dulu takut sama gue,” kata Douglas dengan alis naik turunnya.
“Cuman ni curut aja yang berani sama gue,” katanya menunjuk Raskal.
“Jangan lupain dia juga,” kata Raskal. Mata cowok itu sudah tertuju
pada seorang lelaki yang sedang berjalan di tengah-tengah dua temannya. Namanya
Beling. Rumor yang beredar selama ini adalah bahwa cowok itu tengah menanam
tanaman Ganja di rumahnya. Pernah ketauan membawa sekotak tembakau ke sekolah.
Dan yang terakhir, nama cowok itu akan dicatat buku kelulusan sekolah sebagai
berandalan kelas berat di SMA Nusantara. Berdampingan dengan nama Raskal.
“Beling,” sebut Raskal.
“Eh ada Yogi sama Saka juga tuh,” kata Gathenk. Sekarang ketiga orang
itu menatap Raskal, Douglas, Verrel dan Gathenk. Para cowok biasanya akan
tersinggung ditatap seperti itu oleh orang yang jenis gendernya sama
dengan mereka.
Sejak kelas X. Kelompok Raskal dan Beling tidak pernah bisa akur. Rasa
selalu ingin ‘di atas’ selalu menjadi perkara mereka. Saat-saat di mana ego
sedang tinggi-tingginya memang menguasai masa-masa remaja. Apalagi SMA.
“Kenapa lo berempat ngeliat gue kaya gitu?” tanya Beling ketika ia
sudah berada di dekat keempatnya. Laki-laki itu dengan angkuh menatap Raskal
yang menaikan sebelah alisnya. “Merasa sok jagoan?” tanya Beling.
“Jangan di sini anjing,” desis Raskal pelan, menahan dirinya untuk
tidak menerjang Beling sekarang juga.
“Jaga tuh mata,” kata Beling. Beling akhirnya berjalan meninggalkan
tempat itu. Keempatnya berdiam menatap cowok itu dengan pandangan geram. Raskal
yang sudah tidak bisa menahan dirinya langsung saja berjalan menuju Beling dan
mendorong Beling dengan sebelah tangannya ke depan.
“Kal,” kata Verrel kaget dengan apa yang dilakukan Raskal. Kejadian itu
begitu cepat.
“Maju lo!”
Douglas menggertakkan giginya. Ia tau Beling memang sengaja memancing
kemarahan Raskal. Terlebih lagi Raskal memang mudah terpancing.
“Ling dia nantang!” kata Saka.
“Habisin aja Ling,” kata Yogi, menimpali perkataan Saka.
“Lo pikir gue takut?” kata Raskal.
“Apa maksud lo?” tanya Beling. Badan cowok itu sudah berada di depan
Raskal.
“Seharusnya gue yang nanya. Apa maksud lo ngomong itu?” tanya Raskal.
“Lo pikir gue sama temen-temen gue takut?”
Akhirnya Douglas memilih maju, bertindak. Kalau ia tidak segera
bertindak untuk melerai sudah pasti mereka akan dikerumuni banyak murid. Dan
terus terang Douglas malas. Terlebih lagi hanya karena masalah sepele.
“Buruan lo cabut,” kata Douglas pada Beling. “Eh, cabut!” suruhnya
lagi.
“Douglas!” seru Raskal marah.
“Lo diem,” tunjuk Douglas pada Raskal yang terlihat geram. “Buruan
cabut sana. Jangan lewat-lewat sini lagi lo bertiga,” katanya membuat Beling
akhirnya mengalah. Kalau bukan saja karena Douglas memiliki banyak teman alias
seniornya yang lebih ganas dari mereka, sudah pasti Beling akan meladeni
Raskal. Akhirnya Beling memilih pergi bersama dengan Yogi dan Saka.
Setelah itu Raskal tanpa aba-aba langsung menarik kerah seragam
Douglas. Satu tangannya hendak menonjok wajah Douglas namun kepalan tangan itu
jadi melayang di udara. Wajah Douglas tampak datar sedatar-datarnya.
“Gak jadi mukul gue?” tanyanya membuat Raskal mengembuskan napas keras
lalu menghempaskan kerah baju itu. Dia tidak bisa melakukan itu. “Jujur lo
kenapa Kal?” tanyanya. Kini Douglas, Verrel, dan Gathenk menatap Raskal penuh
tanda tanya.
Raskal masih tetap diam. Ketika melihat Teresa, Rivka, dan Varra yang
sedang berjalan jauh di depan membuat Raskal berdecak pelan.
“Gue disuruh belajar Fisika selama 3 bulan sama Teresa.”
*****