2.
SELAMAT BERJUANG JIHAN
“Jangan
sampai orang yang berjuang untukmu malah memilih pergi dan tak peduli lagi padamu.
Sebab kamu akan merasa kehilangan setelah dia pergi.”
“Septian!
Yakin nih gak mau? Ntar nyesel tauuk.”
Jihan
mengejar di belakang tubuh Septian. Ia sedikit berlari karena susah mengimbangi
langkah kaki Septian yang sudah jauh di depannya.
“Septian!
Septian! Kapan ngajak jalan?!”
“Capek
tau ngejar-ngejar terus. Sekali-kali lo kek yang ngejar-ngejar gue. Pasti gue
terima deh. Gak pake mikir langsung gue terima detik itu juga!”
Itu
sih mau lo, batin Septian.
“Septian!
Kapan sih gue bisa jadi pacar lo? Masa gue mulu sih yang nyari lo? Lonya
kapan?!”
“Oohhhh
gue tau nih! Pasti lo nolongin gue dari Marcus karena lo suka sama gue
kaannnnnn??!” tanya Jihan dengan nada menyebalkan di telinga Septian namun
cowok itu sama sekali tidak ada niat untuk menjawab. Ia tetap berjalan dengan
kedua tangan masuk ke dalam saku celana abu-abunya.
Jihan
Halana. Hidup Septian yang semula tenang-tenang saja jadi terganggu karena
cewek bersuara centil ini. Suaranya mirip seperti suara anak kecil. Di SMA
Ganesha, Jihan adalah sosok cewek cantik yang selalu keterbelakang dari segi
pelajaran. Cewek ini tidak terlalu pintar namun cukup terkenal di sekolahan.
Kadang-kadang
Septian heran mengapa Jihan bersikeras untuk menjadi pacarnya padahal Septian dan
Jihan tidak pernah dekat sebelumnya. Mungkin karena Jihan sering memergokinya
sendirian di kelas kosong yang ada di lantai atas.
“Septian
ngomong dongggg. Kok diem aja sih? Berasa ngomong sama patung tau! Udah gitu
patungnya bisa jalan lagi!” keluh Jihan karena sejak tadi bermonolog terus.
“Septian!
Kata orang gak boleh cuekin orang yang lagi ngomong sama lo. Gak baik tau!
Dosa! Pamali!”
Jihan
berhenti mendadak karena cowok yang sedang berjalan tenang di depannya berhenti
dan berbalik badan.
“Nah
gitu kek daritadi. Senyum dong! Biar makin ganteng,” Jihan nyengir lebar
di depan Septian karena cowok itu sudah mau meresponsnya.
“Nih
kaya gini!”
“Segitunya
lo biar bisa jadi pacar gue?” tanya Septian. Bibirnya menipis, marah.
“Gue
udah nolak lo berkali-kali. Di mana rasa malu lo? Urat malu lo putus?” Septian
bertanya dengan kedua alis tertekuk. Heran bercampur kesal karena perempuan ini
tidak pernah mengerti maksudnya.
“Kenapa
sih? Emangnya gue gak boleh ya suka sama lo?”
“Bukannya
gitu.”
“Terus?”
“Pokoknya
jangan suka sama gue,” jawab Septian singkat, jelas dan padat. Dibumbui dengan
nada pedas.
“Lo
bukan Tuhan. Lo gak berhak nentuin perasaan orang,” ucap Jihan.
“Gue
suka sama lo emangnya salah?”
“Kalau
suka sama gue gak usah pake cara kaya gini. Lo pikir gue nolongin lo dari
Marcus karena gue suka sama lo? Kalau gitu selamat karena lo salah. Gue nolong
lo dari Marcus karena gue kasian sama lo.”
Septian
mendekati Jihan. “Kalau lo suka sama gue. Jauhin gue.”
Jihan
tercenung mendengarnya.
“Gak
mau!” Jihan tetap bersikukuh.
Septian
menatap gemas perempuan yang ada di depannya ini. Bagaimana caranya agar Jihan
sadar bahwa Septian tidak mau menerimanya?
“Kapan
sih lo suka sama gue Septian?”
“Gue
gak suka sama lo Jihan. Berapa kali harus gue bilang ke lo?”
“Jangan
ngikutin gue lagi,” tambah Septian membuat Jihan melotot, sebal. Ia berbalik
badan. Melanjutkan langkah kakinya yang tertunda tadi. Jihan meremas sisi jarit
roknya kuat-kuat—gregetan pada Septian.
“AWAS
AJA YAAAAA!!! BESOK-BESOK, LO YANG BAKALAN BILANG SUKA SAMA GUE!”
****
XII
Bahasa 2 sedang sangat bernyawa karena jam-jam istirahat belum selesai. Jihan
sudah tiba di dalam kelas, tidak lagi mengejar Septian. Cowok itu sudah pergi
sejak tadi. Jihan juga tidak tahu Septian kemana. Cowok itu menyebalkan namun
Jihan tetap menyukainya. Dengan mencak-mencak perempuan itu masuk ke dalam ke
kelas.
Di
dalam kelasnya ada tipe-tipe anak yang suka pilih-pilih. Cowok-cowok nakal
duduk di belakang—berkumpul jadi satu entah itu mengerjai temannya atau bermain
PS dengan laptop lalu kaum-kaum borjuis berkumpul membicarakan masalah tas,
baju, dan juga barang-barang olshop hingga ke tahap yang branded.
Terakhir ada anak-anak pintar yang sengaja belajar untuk ulangan di jam
pelajaran ke depan. Mereka rela mengorbankan jam istirahat atau menolak ke
kantin demi belajar supaya mendapat nilai bagus nanti.
“Jihan!
Lo kemana aja sih?!” Febbi, salah satu teman Jihan memperhatikan Jihan yang
sedang duduk di samping Kejora.
“Kejora!
Bantuin gue dong biar deket sama Septian. Suruh gebetan lo si Galaksi kek. Atau
minta nomor telponnya Septian kek!” Jihan mengadu pada Kejora.
“Sumpah
ya! Gue harus dapetin tuh cowok sombong!”
“Duh,
Han gue gak mau. Lo aja sana berurusan sama Galaksi,” jawab Kejora, temannya.
Sedikit terganggu mendengar nama Galaksi.
“Galaksi
tuh bisa mikir macem-macem kalau gue minta nomor telponnya Septian. Lo kan udah
ada LINE nya Septian. Lo chat aja lewat situ.”
“Masalahnya
setiap gue chat gak pernah dibales!”
“Itu
sih nasib lo Han.” Lala yang duduk di samping Febbi menghadap pada Kejora ikut
berbicara. “Lo kan udah gue kasih LINE-nya Septian. Emang masih kurang? Gue
dikasi sama pacar gue Jordan tuh waktu itu.”
“IYA
KURANG! Sampe sekarang aja chat gue gak pernah dibales!”
“Padahal
gue spam di chat dia tapi cuman di read!”
“Udah-udah
lo jangan marah-marah kaya gitu dong. Lo tau kan Septian juga kerja jagain distronya.
Mungkin dia sibuk.”
“Bener
tuh kata Lala, Han,” ucap Kejora. “Mending lo belajar nih. Bentar lagi ulangan
pelajarannya Pak Maman.” Kejora mendorong buku paket di meja untuk Jihan.
“Tapi
gue masih kesel sama tuh cowok. Untung aja gue masih suka sama dia!” Jihan
masih berapi-api.
“Han
lo kaya nggak kenal Septian aja. Septian kan emang gitu dari dulu Han. Cuek sama
cewek. Jangankan sama cewek. Sama temennya sendiri aja gitu. Lo gak inget
emangnya? Thalita temen sekelasnya yang sering sama Fifi itu dulu juga pernah
nembak dia tapi Septian nolak dia kan? Gue rasa Septian emang belum pengin
nyari cewek kali,” ungkap Lala.
“Lo
gak bakalan mati kalau jomblo jadi tenang aja.”
“Apa
jangan-jangan Septian tuh gay kali ya makanya gak suka sama cewek?”
celetuk Febbi.
Semuanya
terdiam dan menoleh cepat pada Febbi.
“IH
FEBBI! SEPTIAN GUE GAK MUNGKIN GAY!” teriakan Jihan membuat seisi kelas
menoleh padanya. Jihan langsung terdiam dan meminta maaf karena suaranya
membuat yang lainnya penasaran.
“Lo
tuh kalau teriak dikontrol dong Han. Kasian kan Septian kalau ada gosip gak
bener di sekolah gara-gara lo?” Lala mengambil bukunya.
“Mana
mungkinlah Septian gay! Ganteng gitu.”
“Tapi
banyak loh cowok-cowok ganteng tapi aslinya gay!”
ucap Febbi.
“Ngomong-ngomong
tentang Septian. Gue pernah tuh liat dia di rumah sakit seminggu yang lalu gak
tau ngapain sama Nenek-Nenek. Neneknya kali ya? Gue gak tau. Gak sempet nyapa juga
karena gak berani. Tapi mereka cuman berdua,” ujar Febbi.
“Gue
yakin banget itu Septian soalnya Septian kalau keluar kan selalu rapi,
barang-barang yang dia pake kaya sepatu putih sama jam pokoknya semua sama.
Nggak mungkin gue salah liat.”
“Loh?
Lo semua gak tau? Septian itu kan emang tinggal sama Kakek Neneknya. Dia udah
gak punya orangtua sejak kecil. Makanya anak-anak Ravispa gak ada yang suka
nyinggung-nyinggung masalah orangtua. Takut Septian keinget sama orangtuanya,”
ujar Lala.
“Ah
sumpah lo La? Tau dari mana si?” Jihan yang semula masih kesal jadi penasaran.
“Gue
tau sendiri. Waktu itu diajakin lancong ke rumahnya Septian sama Thalita mau
ngambil baju distro. Lo kan tau Thalita itu temen SMP gue. Rumahnya Septian ya
ampun besar banget! Tapi keliatannya sepi sih. Gue liat Neneknya naik kursi
roda. Jadi Thalita cerita ke gue kalau Septian emang dari kecil gak pernah tau
orangtuanya.”
“Kenapa?”
tanya Jihan. Mendadak tenggorokannya serat.
“Orangtuanya
Septian udah meninggal. Ayahnya dibunuh. Lo tau siapa yang bunuh?” tanya Lala
membuat Jihan menggeleng pucat.
“Adik
kandung Ayahnya Septian sendiri.”
****
“Ibu
kan sudah sering bilang sama kamu Septian. Jangan ikut Ravispa! Mau jadi apa
kamu nanti kalau ikut geng-geng gak jelas kaya mereka?!”
Di
ruang BK hanya ada dua orang. Guru Konseling yang duduk di depan Septian
memperhatikan muridnya dengan tatapan kecewa. Di SMA Ganesha ada dua guru BK.
Yang satu Pak Dandang dan yang satu lagi Bu Dayu.
Septian
yang dimarahi oleh gurunya hanya menutup mulut. Guru bersangul lengkap dengan
konde dan bertubuh besar mirip istri orang penting Keraton itu geleng-geleng
kepala melihat sikap Septian. Septian pintar. Sangat pintar bahkan banyak
menyabet kejuaraan Basket maupun piala-piala olimpiade untuk sekolah. Tetapi
kenapa murid lelaki ini malah memilih pergaulan yang salah?
“Pokoknya
Ibu nggak mau dengar kamu berantem lagi. Apalagi di sekolah. Pintar-pintar
bergaul Septian. Carilah pergaulan yang benar. Bukan pergaulan yang bebas
seperti teman-teman kamu itu! Ibu udah capek ngasih tau mereka tapi mereka gak
pernah berubah.”
Septian
yang sejak tadi diam angkat suara. “Teman-teman saya gak seperti yang Ibu
pikir,” ucap Septian membela.
“Mereka
gak sebebas yang Ibu kira.”
Bu
Dayu menghela napas.
“Ya
sudah hari ini cukup sekali kamu masuk BK. Ibu gak akan perpanjang. Kamu boleh
kembali ke kelas kamu. Intinya Ibu mau kamu jangan terlalu sering bergaul sama anak-anak
Ravispa.”
Septian
berdiri membuat suara kursi memenuhi ruangan putih penuh dengan tata tertib
sekolah itu. “Maaf saya nggak bisa ngejauhin Ravispa Bu karena temen-temen saya
di sekolah ini cuman mereka. Kalau gitu saya permisi ke kelas Bu.”
Bu
Dayu lagi-lagi menghela napas lelah. “Iya inget jangan berantem sama Marcus
lagi.”
Septian
tidak menjawab tapi Bu Dayu tahu Septian mendengarnya. Bu Dayu menyuruhnya ke
ruang BK menggunakan toa sekolah tadi saat jam istirahat. Jelas semua murid
yang menonton perkelahian antara Marcus dan Septian menebak-nebak apa yang akan
terjadi. Marcus sudah lebih dulu pergi dari ruang BK karena Septian harus lebih
lama berdiam di sini untuk mendengarkan wejangan dari guru itu.
Ketika
membuka pintu kaca buram ruang BK, Septian melihat keenam temannya sedang nguping
di depan. Galaksi, Jordan, Oji, Bams, Guntur dan Nyong yang sedang merunduk dengan
wajah yang berada di pundak-pundak temannya nyengir melihat wajah tak
bersahabat Septian.
“Eh
apa tuh ya? Ada jerapah terbang tuh!” ujar Nyong pura-pura tidak melihat
Septian.
“Mana
Nyong? Mana? Wahhh ada jerapah terbang!” ujar Jordan dengan bloonnya.
“Wah…
jerapah bisa terbang ya?” ujar Guntur dengan tampang bloon.
“Eh
Asep,” ujar Bams cengengesan.
“Ngapain
lo di sini?” tanya Septian.
“Eh
enggak ngapain kok. Anu kita lagi main nih. Iya gak Tur?” ujar Bams.
“Iya
nih ikutan gak lo?” ujar Guntur ketika Septian meliriknya.
“Boong
aja terus.” Septian membuat teman-temannya cengengesan.
“Mana
ada boong orang kita lagi liat jerapah terbang.” Jordan menatap langit.
“Gak
lucu lo,” balas Septian jutek.
“NGAPAIN
KALIAN DIEM DI SITUUU??!”
“NGUPING
YA KALIAN?!” Bu Dayu yang sudah berdiri di belakang tubuh Septian melotot
garang pada keenamnya. Sebelah tangannya ada di pinggang. Siap memarahi mereka.
Septian lalu memilih berjalan dan memilih diam di sebelah Galaksi yang
meliriknya.
“Eh
Bu Dayu nan cantik jelita. Pa kabar Bu?”
“Aduhhhhhh
Ibu makin cantik aja Bu kalau lagi marah. Itu bedak atau tepung Bu? Tebel amat,”
Nyong cengengesan lalu tertawa.
“Nyong!”
Nyong
yang dimarahi langsung mingkem.
“Enggak
kok Bu. Kita nggak nguping. Kita ini anak baik-baik Bu. Ini kita mau ke kelas
Bu. Ya gak Dan?!” Oji meminta bantuan pada Jordan dengan cara melotot namun
Jordan malah lama mencerna maksud Oji.
Jordan
yang baru sadar pun menjawab heboh, “WOOOO IYA DONG JI! KITA ITU MAU KE KELAS
BU! IBU MAU IKUT GAK?!” tanya Jordan.
“Daripada
Ibu di ruang BK sendirian kan? Ditemenin sapa coba?”
“Mending
ngawasin kelas kita. Ya kan?”
“Kalian
itu ya!” ketujuhnya tersentak saat Bu Dayu berbicara dengan nada sedikit tinggi.
“Udah
bel dari tadi kenapa masih di luar?! Masuk kelas sana!” Bu Dayu kembali marah
dengan kening terlipat membuat ketujuh cowok itu terkesiap dan bersiap-siap
meninggalkan ruang BK.
“DIBILANG
MASUK KELAS!” omel Bu Dayu.
“Jangan
marah-marah gitu dong Bu. Santai aja kali kaya di pantai. Ntar Ibu cepet tua
kalau marah-marah mulu ke kita Bu,” celetuk Galaksi dengan nada serius membuat
Bu Dayu tambah melotot padanya. Di sekolah ini Bu Dayu dan Galaksi memang
sering terlihat seperti bermusuhan.
“SIAPA
YANG KAMU BILANG TUA?! SAYA HAH?!”
“Nah
itu nyadar,” ucap Galaksi kalem.
“Kurang
ajar ya kamu Galaksi!”
Ketika
ingin menghampiri Galaksi di tempatnya. Galaksi justru menjauh.
“Udah
sana masuk kelas kalian jangan bikin Ibu kesel.” Bu Dayu tambah murka.
“TUNGGU
APA LAGI?! AYO MASUK KELAS KALIAN SEBELUM IBU JEMUR KALIAN DI LAPANGAN! MAU?!”
Ketujuh
cowok-cowok itu lantas tertawa cekikikan sambil berlari beramai-ramai menjauhi
ruang BK. Bu Dayu kembali menghela napas berat. Guru itu lantas masuk ke ruang
BK dan menutupi pintu sambil memijat pelipisnya.
****
Di
lorong depan kelas XII IPA 5 sedang sangat rusuh. Rusuhnya mengalahkan pasar di
pagi-pagi buta. Banyak yang sengaja lewat karena cowok-cowok sedang berkumpul
di depan kelas itu. Bagaimana tidak kumpul? Ketuanya ada di sana. Jelas mereka
nongkrong di sana. Galaksi nama ketuanya atau yang biasa dipanggil Galak oleh
teman-temannya. Sementara Septian berdiri di sebelahnya menatap ke sekeliling.
Ada banyak adik kelas perempuan yang mulai lewat. Ada yang caper ada juga
yang memang murni lewat. Bahkan ada yang sampai teriak-teriak demi mendapatkan
sebuah perhatian.
Di
SMA Ganesha ada geng atau kumpulan murid-murid yang bernama Ravispa yang
dominan diisi oleh murid laki-laki. Di sekolah ini hanya ada satu perkumpulan. Tidak
berani membuat yang lain karena mereka.
Tujuannya
agar apa yang telah diwariskan oleh senior-senior yang terdahulu tidak punah.
Ravispa juga sering berselisih paham dengan Avegar—perkumpulan SMA Kencana yang
merupakan tetangga sekolahnya. Dua geng besar yang sudah menjadi musuh
bebuyutan sejak bertahun-tahun lalu.
Septian
memilih bersender di pintu besi koridor yang berwarna hitam. Kedua tangannya
berada di depan dada—memperhatikan Nyong yang sedang asyik menggoda cewek-cewek
bersama Jordan. Benar-benar partner yang klop.
“Toko batik
Jualan kayu
Hai cantik
Pacaran yuuuuuu!”
“Apaan
sih Nyong? Gak jelas banget lo,” Fifi yang baru saja lewat langsung saja
menyemprot.
“Kurang
kerjaan lo? Sini nyapu ke kelas. Lo belum piket tadi pagi kan?”
Thalita
yang berdiri di sebelah Fifi mendelik pada Nyong. “Mana pernah orang kaya lo
piket Nyong?”
“Giliran
ada jadwal piket aja sok-sok lupa hari!” Nyong tertawa geli mendengar perkataan
Thalita, teman sekelasnya.
“Woi!
Gue bogem lo Nyong goda-godain Fifi!” Bams memasang wajah galak dan masam pada
Nyong.
“Waduuhhh-waduhhh
bapaknya marah cuy! Mending gue dong Bams. Godain Neng Fifi dapet. Gak kaya lo.
Diterima aja sampe sekarang kaga! 3 tahun coyyyyyy! 3 taun! Gak sakit tuh
hati?” goda Nyong pada Bams.
Bams
tidak menghiraukannya.
“Diem
deh lo Nyong gak usah banyak omong. Awas aja nanti lo gak piket gue aduin lo ke
Pak Dandang!” ucap Thalita.
“Iya-iyaaa
ntar gue piket. Khawatir banget sih Nweng Thalita kalau Abwang gak piket?”
“Jadi
makin cinta!”
“Dih
jijik!” balas Thalita.
“Yuk
Fi kita masuk kelas aja. Ngapain juga ngeladenin nih anak-anak,” ajaknya pada
Fifi kemudian kedua perempuan itu masuk ke dalam kelas.
“Kamu
cantik. Sayang kamu sangat sombong untuk didapatkan,” celetuk Jordan yang
berdiri di samping Bams membuat cowok itu tahu bahwa Jordan sedang menyindir
Fifi.
“Sabar
Bams. Move on ajalah daripada lo dicuekin kaya gitu. Di SMA Ganesha
banyak cewek yang mau jadi pacar lo Bams! Nih-nih banyak cewek cantik. Waooooow
hayyy Jihan cantik,” sapa Jordan pada salah satu siswi yang hadir di
tengah-tengah lorong. Bams tahu Jordan sedang mencoba menghiburnya.
“Eeeee
ada yang marah nih,” Jordan melirik Septian yang sedang memperhatikannya.
“Gak
jadi deh godainnya. Peace, Bro!”
“Ehhh
Nweng Jihan,” Nyong ikut menyapa.
“Cantik
gini disia-siain Asep? Auto nyesel!”
“Ngapain
ke sini Han? Nyari Septian ya?” Guntur ikut ambil bagian menggoda Jihan.
“Waaaahh! Lo sama Septian udah jadian apa gimana nih?” Guntur ingin mengorek
sedikit informasi dari keduanya.
“Bentar
lagi kok! Ya kan Septian?” Jihan bertanya pada Septian yang sejak tadi hanya
menatap ke arah depan.
“Gila
Sep,” Oji menyeru.
“Kalau
lo gak mau sama Jihan mending buat gue aja! Cewek kaya Jihan nih langka tau!”
“Ambil
aja,” ucap Septian gampang membuat keenam temannya termasuk Jihan sama-sama
diam.
“Sep?
Jangan gitu,” Galaksi berbisik.
“Sapalah
si Jihan,” Galaksi memberi saran. Tidak tega dengan raut wajah Jihan.
“Apa?”
Septian berkata judes pada Jihan yang sudah berdiri di depannya.
“Mau
bilang makasi aja kok…,” Jihan berucap takut-takut lalu merogoh saku rok
abu-abunya. “Yang tadi pagi… ini gantungan kunci buat lo. Terima ya?”
Jihan
menyerahkan gantungan kunci berbentuk mawar merah pada Septian membuat
teman-temannya berseru heboh melihat wajah keduanya.
“Hm.”
“Udah
gue terima. Trus sekarang ngapain masih di sini?” Septian menatapnya setelah
mengambil gantungan kunci yang diberi Jihan.
“Ada
perlu apa lagi?”
“Kasar
banget lo, Sep,” tegur Oji. Cowok itu merangkul Jihan memindahkannya dari
tempat Septian berdiri.
“Udah
mending lo ke kelas aja deh sekarang Han. Kayanya temen gue gak mau diganggu
dulu. Lo sabar ya. Jangan dimasukin hati kata-kata dia,” ujar Oji.
“Septian
sebenernya orang baik.”
Jihan
mengangguk. “Iya gue balik ke kelas deh. Thanks ya, Ji.”
“Yo
sama-sama.” Oji melepas Jihan membiarkannya pergi dari kawasan murid-murid IPA.
Septian
memperhatikan gantungan kunci mawar yang berwarna merah yang diberikan Jihan.
Setelah membalikannya ada sebuah tulisan yang membuat Septian mendekatkan
gantungan itu pada pandangannya.
“Jangan
sampai orang yang berjuang untukmu malah memilih pergi dan tak peduli lagi padamu.
Sebab kamu akan merasa kehilangan setelah dia pergi.”
****
“Inget
ya habis Jordan harus giliran gue!” Galaksi berseru di tempat duduknya.
Jordan
sedang menyalin dengan kilat jawaban dari buku. Kadang Septian juga pelit
jawaban namun kali ini lelaki itu berbaik hati memberikan teman-temannya
contekan.
“Gue
abis Galak pokoknya!” ucap Nyong.
“Enak
ya jadi lo Sep. LKS dah isi semua. Tinggal nyalin aja kalau ada tugas.”
“Makanya
belajar di rumah. Jangan taunya main ke Warjok aja,” ucap Septian menutup
bukunya. “Nih LKS gue. Lo salin aja jawabannya sama kaya yang di buku gue biar
cepet. Untung Bu Ita gak masuk ke kelas.”
“Baik
banget lo Sep. Makasi dah. Jadi makin lope-lope di udara Abwang,” ucap Nyong
membuat Septian mendengus.
“DIH
JIJIK BANGET LO BERDUA KAYA MAHO!” Bams berujar padahal matanya masih sibuk
pada buku Guntur yang sudah lebih dulu menyalin jawaban Septian tadi.
Nyontek
massal. Begitulah keadaan kelas XII IPA 5 sekarang. Di bangku depan ada kunci
jawaban berupa Fifi dan di bangku belakang ada Septian yang meng-handle.
Dua bintang kelas yang selalu jadi incaran teman-temannya kalau ada tugas
ataupun ulangan. Bahkan pas ulangan Galaksi temannya tidak akan segan-segan
menggeser Guntur untuk duduk di samping Septian agar dapet contekan.
Kalau
ada tugas berkelompok pun Septian akan jadi rebuatan teman-temannya. Karena
selain pintar Septian juga rajin. Dipastikan kalau sekelompok dengannya bisa
langsung mendapat nilai bagus. Dijamin!
Posisi
duduk mereka pun sangat menguntungkan untuk ribut. Mereka berada di pojok
belakang kiri. Posisi yang sangat nyaman untuk menyontek, tidur dan juga ribut.
Septian dan Guntur duduk di samping bangku Galaksi dan Jordan sementara Bams
duduk dengan Nyong dan Oji duduk sendirian tepat di deret bangku Galaksi dan
Jordan. Kadang-kadang tempat duduk mereka sengaja dirolling oleh mereka
sendiri. Tidak tentu. Apalagi kalau kelas lagi sepi dan guru piket tiba-tiba
masuk kelas. Mereka akan sembarangan duduk di mana pun itu.
“Lo
gak suka sama dia?” tanya Galaksi.
“Siapa?”
“Jihan
lah masa Kejora,” ujar Galaksi.
“Enggak.”
Septian meletakkan pulpennya.
“Gue
gak pernah suka sama Jihan.”
“Awas
lo ngomong gitu sekarang nanti lo yang ngejar-ngejar Jihan baru tau rasa.”
Galaksi duduk di pinggir kursinya lalu menghadap ke Septian dengan satu kaki
naik ke atas paha. Sangat tipikal Galaksi.
“Hidup
itu berputar, Bro. Sekarang emang Jihan yang ngejar-ngejar lo nanti bisa
kebalik lo yang ngejar Jihan.”
“Mending
lo jangan terlalu keras sama tuh cewek.”
“Gue
gak suka sama dia.” Septian menghela napas.
“Ngapain
juga gue ngejar-ngejar Jihan? Kaya nggak ada kerjaan lain aja.”
“Gue
sebagai temen lo cuman ngingetin aja Sep.” Galaksi lalu merubah gaya duduknya
jadi semula dan memperhatikan Jordan yang sibuk tidur di sampingnya. “WOI DAN
BANGUN LO! Itu iler di tas lo ke mana-mana!”
“Susah
Lak! Lo nggak bakalan bisa bangunin Jordan! Tidur udah kaya orang mati gitu!”
Bams geleng-geleng kepala membuat Galaksi tertawa dan mengguncang-guncang badan
temannya itu. Jordan masih asyik tidur.
“Gini
nih. Kebanyakan nonton bokep Jepang sampe pagi!” Nyong tertawa geli dan
mengguncang-guncang badan gede Jordan. “Teler dia sekarang!”
“Mana
ada nonton gituan! Nonton bola tuh Madrid kemarin sama gue.” Guntur tertawa.
“Siram
aer aja Nyong!”
“Ide
bagus tuh!” Nyong meminta botol air pada Bams sisa minumnya saat di kantin
tadi.
“Dan
sorry ya Dan. Ini demi keselamatan dan kesejahteraan tas lo. Kasian tas
lo kena iler gitu.” Bukannya membangunkan Jordan. Nyong malah berpidato. Malah
lebih kasian sama tasnya ketimbang Jordan.
“Buruan
Nyonggggg!! Ntar tiba-tiba Bu Dayu bisa dateng ke kelas!” desak Oji yang sudah
berdiri di bangku depan lalu mendekat.
“Tapi
kalau gue kena amuk Jordan. Lo semua yang tanggung jawab ya?” Nyong bersiap
dengan membuka tutup botol minuman mineral itu.
“Iya-iya
gue yang tanggung jawab!” Galaksi menjawab tak sabar.
“Buruan
Nyong!”
“Kok
gue jadi deg-degan ya kaya mau nembak cewek,” ujar Nyong membuat Bams yang
duduk di sampingnya berdecak dan merebut botol minum itu dari Nyong.
“Lebay
amat lo Nyong!” Bams lalu menyiram kepala Jordan dengan botol air minumnya
membuat Jordan tiba-tiba membuka mata.
Keenam
cowok itu lalu memukul meja Jordan dan Galaksi dengan suara yang membuat kelas
tambah gaduh, “BANGUUUNNN WOEEEE!! BANGUNNN!!” seru keenamnya.
“KEBAKARAN!
KEBAKARAN!” tambah Bams membuat tampang Jordan yang semula lesu dengan
cepat-cepat membuka mata dan menegakkan badannya.
“HAH?
DI MANA KEBAKARAAAAANNN???!!”
“DI
MANA??”
“Noh!
Di jidat lo!” ucap Nyong.
“Lo
tidur udah kaya orang mati. Asli dah,” kata Guntur.
“Sialan
lo semua! Lagi enak-enak juga,” ucap Jordan mengusap wajahnya yang basah.
Bahkan rambutnya juga ikut basah.
“Gue
baru tidur nih!”
“Lu
pasti mimpi jorok ya Dan?!” tebak Oji.
“Udah
sana lo ke kamar mandi cuci muka. Kasian tas lo Dan.”
“Jadi
lo lebih kasian sama tas gue daripada sama gue?!” marah Jordan pada Oji membuat
cowok itu tertawa geli karena wajah Jordan yang jadi tertekuk. Keadaannya
mengenaskan. Sedikit kerasnya basah karena siraman Bams.
“WOE
WOE WOE!! Yang suka ngadu ke Avegar udah ketemu nih orangnya!” tiba-tiba
Bagas—teman sekelas Baret sekaligus anggota Ravispa memberitahu dan masuk ke
dalam kelas yang tengah ribut itu.
“Sumpah
lo, Gas?” Oji berbalik badan dan berbicara pada Bagas.
“Iya
sumpah! Lagi ditawan di belakang sekolah!” Bagas menjawab dengan napas
ngos-ngosan.
“Tunggu
apa lagi?” tanya Galaksi mengomando. “Buruan ke belakang sekolah!”
Semua
temannya sangat berminat kecuali Septian.
*****